RSS

Cerpen


Bambu Runcing

Berkaca-kaca matanya menerawang jauh, terharu, dan kelu. Tiba-tiba air mata membasahi pipinya yang sudah keriput. Lirih ia memulai bercerita tentang peristiwa beberapa puluh tahun lalu yang selalu diingatnya.
“Mereka datang lagi dengan berbagai tipu muslihatnya untuk merebut kembali Bangsa ini yang telah merdeka, mencerai beraikan keluarga di negeri ini yang sudah tinggal dengan damai. Mereka datang lagi setelah kami bersusah payah merebut kemerdekaan ini dari tangan Jepang. Tapi selama semangat cinta tanah air masih berkobar di dada, kami tak akan gentar..pun harus nyawa sebagai taruhannya. Karena mereka pantas enyah dari negeri ini.”
Perlahan ia sudah bisa menguasai emosinya. Beranjak dari tempat duduknya menuju ke suatu sudut di ruangan mungil. Sementara kami hanya tertegun mengikuti arah kemana kaki tua itu berhenti melangkah. lalu ia mengambil benda panjang yang runcing di ujungnya. yaa.. benda itu adalah bambu runcing yang setia menemaninya berperang melawan penjajahan Belanda.
“Benda ini adalah saksi bisu perjuangan saya dan arek-arek Suroboyo lainnya dalam mengusir Belanda dari kota ini. Dengan gagah berani kami mempertahankan kemerdekaan yang baru beberapa saat kami raih. Cukup sudah penderitaan rakyat Bangsa ini, kami tak mau hidup sengsara lagi karena kekejaman penjajah yang terkutuk. Kami hanya ingin hidup tenang di negeri sendiri. Dengan senjata sederhana ini kami berhasil naik ke puncak menara Hotel Yamato untuk menyobek warna biru bendera Belanda menjadi Sang Merah Putih yang berkibar di langit Surabaya.”Mengepal tangannya, bergemeretak giginya, seakan sangat gemas dan benci sekali dengan Belanda.
 Wajar,karena peristiwa tersebut telah merenggut nyawa istrinya. Istrinya meninggal terkena tembakan Belanda saat bertugas sebagai tenaga medis pada pertempuran tersebut.
Sambil mengelus bambu runcing tersebut, matanya masih menerawang jauh..jauh…entah apa yang saat ini ada di dalam pikirannya. Sesaat ruangan itu  menjadi hening. Dibenak kami masih tersisa rasa penasaran akan kelanjutan cerita dari Kakek veteran.
Senyum tipis itu mulai mengembang. Wajah gantengnya masih terlihat walaupun terselimuti oleh kulit keriput yang termakan usia. Satu persatu dipandanginya wajah kami lekat-lekat, seakan menyuntikkan semangat cinta tanah air yang tak pernah padam walaupun jaman telah berganti.
“Sekarang Indonesia telah merdeka. Seorang kakek tua mantan veteran perang kemerdekaan ini tidak meminta apa-apa kepada kalian. Hanya satu, tolong jaga tanah air yang susah payah kemerdekaannya kami perjuangkan untuk kalian. Belajarlah yang rajin supaya kalian tidak mudah dibodohi oleh bangsa lain. Karena adanya penjajahan berawal dari kebodohan yang menghasilkan ketergantungan dan ketidakberdayaan terhadap bangsa lain.”Sang kakek menasehati kami dalam perbincangan yang santai namun penuh makna.
“Kalian adalah generasi penerus bangsa ini. Ditangan kalian lah wajah masa depan ini akan kalian lukis.Paham anak-anak?”tanya Kakek veteran.
“Pahaaaaamm keekkkk… “jawab kami serempak.
“Tapi kek…sekarang banyak pemuda yang piƱtar dan bersekolah ke luar negeri setelah sukses malah enggan kembali ke Indonesia, karena di negara lain mereka mendapatkan gaji yang jauh lebih tinggi. Bagaimana itu kek?” tanya ku.
Sang kakek tersenyum simpul. Selanjutnya tertawa terkekeh hingga memperlihatkan barisan giginya yang sudah ompong.
“Pertanyaan yang pintar sekali. Begini nak...itu semua tergantung dari kepribadian setiap orang. Sebaiknya hal yang seperti itu jangan dicontoh, berkaryalah untuk memakmurkan negeri sendiri itu lebih baik daripada kau kaya dinegeri orang tapi saudara di negeri asalmu menderita”. Penjelasan kakek veteran berhasil menjawab dan menenangkan berbagai pertanyaan yang ada dibatinku dan teman-teman.

Tak terasa perjumpaan dengan kakek veteran harus terpisahkan oleh waktu. Masing-masing dari kami hanya membawa oleh-oleh sederhana untuk sang kakek veteran. Perasaan senang bercampur satu mengiringi perpisahan kami dengan sang kakek.

Karya : Rini Novianti(MI Al Chusnaniyah) 

0 komentar:

Posting Komentar